Rura mengecek perbekalannya. Sebuah tas kerir lusuh hasil menabung selama dua bulan terakhir ini tampak berdiri sesak di pinggir kamarnya. Sudah pukul 02.00 pagi, dengkuran tipis adiknya terdengar halus. Ia juga mengantuk dan ingin tidur, seharian ini badannya digunakan untuk mengantarkan pesanan dari tempatnya bekerja, belum lagi mengelap semua meja makan dan kena omel si bos yang entah kenapa selalu marah-marah setiap hari.

“Yang ini pasti berhasil” batinnya pelan sebelum ia memutuskan untuk tidur. Ini enam hari sebelum Rura akhirnya makan es krim

---

Sejak lahir Rura tidak pernah makan es krim. Makanan itu hanya untuk orang kaya. Kata ibunya terlalu mahal - tidak masuk di akal bagi mereka yang masih bingung besok hendak makan apa. Es krim di sini terbuat dari awan, warnanya putih lembut dengan kabut tipis yang menghiasi sekitarnya.

Karena terbuat dari awan, maka harga es krim di sini dijual mahal sekali, bahkan rasanya mustahil bagi kelompok menengah untuk mencoba makan es krim. Es krim hanya legenda bagi orang miskin yang manisnya mereka dengar lewat telinga, dan lembutnya mereka saksikan lewat papan reklame iklan yang ada di perempatan jalan.

Maka semua temannya bilang gila saat pertama kali Rura bilang akan makan es krim.

“Sejak kapan Kamu punya uang sebanyak itu?”

“Kalaupun punya bukankan lebih baik uangnya Kamu pakai untuk bayar sewa kamar petakmu sebelum kamu diusir Bu Puji?”

“Akan lebih masuk akal kalau kucing punya nyawa 17 dibanding dengar bahwa Kamu akan makan es krim Ra”

Mereka tambah geleng-geleng kepala saat dengar Rura tidak akan membeli es krim untuk memakannya.

“Aku tidak akan beli, Aku akan ambil sendiri awan tersebut”

Maka sejak hari itu Rura bekerja keras sekali. Ia mulai menyusun 1001 cara untuk mengambil awan. 

Mula-mulanya ia memungut tangga-tangga bekas di tempat pembuangan sampah. Selepas sekolah dan bekerja kasar, ia akan pergi ke tempat persembunyiaannya dan membangun tangga untuk mencapai awan. 30 hari projek itu ia kerjakan, sekarang tangganya sudah sangat tinggi.

Ia kemudian berusaha mendirikan tangga dengan menyederkannya di pohon paling tinggi di kotanya. Rura kemudian mengikat sisi tangga dengan pohon sekuat yang ia bisa, takut jika tangganya akan jatuh. Kemudian memanjat tangga tersebut dengan hati-hati.

Sayang seribu sayang, meski sudah selama itu ia membangun tangganya, tinggi tangga itu bahkan tidak sampai setengahnya gedung pusat pemerintahan yang ada di kotanya. Tangannya meraih udara kosong, pipinya ditampar angin malam. Tidak ada es krim awan, yang ada dia masuk angin dan kena demam karena bekerja keras untuk projek tangganya selama ini. Muntah-muntah dan terbujur lemas dua hari di atas dipan tipisnya yang kalau dijual juga tidak akan laku.

Tidak mau menyerah, kali ini Rura membuat galah super panjang. Ia kemudian membawa galah itu ke gedung 20 tingkat yang ada di kotanya. Kali ini ia dibantu temannya, Arkan. Walaupun Arkan sepanjang jalan juga marah-marah karena mesti menenteng galah puluhan meter tersebut.

Ayah Arkan adalah security di gedung tersebut. Mereka diloloskan sang ayah setelah Rura dengan segala sungguhnya berjanji akan melakukan aksinya hanya dalam dua jam.

“Om, Aku hanya perlu menyerok awan dengan ini” menunjuk galahnya yang melintang panjang “selama 10 menit, lalu kami akan segera turun. Sungguhan”

Ayah Arkan yang memang sudah kenal Rura sejak kecil akhirnya membolehkan. Dengan catatan Rura harus langsung segera turun dari atas setelah pukul tiga pagi, terlepas berhasil atau tidaknya mereka menyerok awan.

Malam itu langit cerah, bintang bertaburan bisa dilihat dengan mata telanjang. Setelah satu jam berpeluh bergotong royong mengangkut galah lewat tangga darurat dan mendengar sumpah serapah Arkan sepanjang jalan, Rura mulai merangkai galahnya. Arkan mengelap peluhnya dan duduk bersandar di rooftop gedung. Matanya memandang langit luas.

“Heh, pekerjaan kita belum selesai, Kau bantu Aku memegang galah ini, Aku janji awannya akan Kita bagi dua”

Arkan menghela nafas panjang

“Kenapa sih harus makan es krim, pop ice si nenek kan udah enak” ujarnya beringsut membantu Rura walau tetap sambil misuh-misuh.

Rura tidak menanggapi.

Bukan hanya mendirikan galah yang sulit. Menerima fakta bahwa satu liter keringat yang mereka keluarkan hari ini hanya berbuah angin malam juga ternyata sulit diterima. Setelah menyerok awan selama lima menit, mereka berdua kembali bekerja keras menurunkan galah super panjang itu. Arkan dan Rura menghela nafas kecewa mendapati gelas yang mereka pasang diujung galah kosong melompong.

Lima belas menit berlalu, galah telah dibongkar lagi, dipisah jadi bagian-bagian yang lebih pendek. Rura menangis pelan sambil memungut tali temali yang berserakan. Arkan yang hendak kembali mengomel kini segan melihat Rura sesenggukan. Meski menangis, Ia tahu Rura tidak berhenti di sini, setelah ini Rura pasti masih akan mengajak ia melakukan hal gila lainnya. dan Arkan 100% benar.

Dua hari berlalu sejak Arkan membantu Rura menggotong bilah-bilah bambu di sepanjang tangga darurat gedung. Ia kini mendapati Rura berdiri menunggunya pulang bekerja di depan rumahnya.

“Kali ini apa lagi?” ujarnya menatap Rura.

“Kali ini pasti berhasil” ucap Rura sungguh-sungguh.

Mendengar hal ini Arkan langsung melengos, namun Rura dengan cekatan merentangkan tangannya - menghalangi Arkan masuk ke rumah.

“Arkan, Kita akan mendaki gunung. Aku dengar ada tempat di gunung dimana kita bisa menggenggam awan”

“Kamu bahkan gak pernah treking ke curug Ra, setiap diajak kamu selalu ga ikut”

“Itulah kenapa kita gak akan berangkat dekat-dekat ini, Aku akan latihan dulu sampai Aku siap, dan sampai tabunganku cukup membawa persiapan yang diperlukan”

Arkan akhirnya mengiyakan setelah berdebat panjang. Mereka berjanji untuk bertemu dua bulan lagi dan berangkat ke salah satu jalur pendakian yang ada di kota tetangga.

---

Gunung itu menjulang tinggi di hadapan mereka. Hawa dingin dan curamnya jalur pendakian sempat bikin Rura ciut. Sejak jam enam pagi Rura dan Arkan mulai meniti langkah demi langkah. Sesekali mereka berhenti untuk minum dan beristirahat.

Perjalanan ke puncak diperkirakan akan memakan waktu 10 jam. Jalur pendakian semakin sulit mendekati puncak nanti. Rura sebenarnya sudah berlatih dua bulan terakhir untuk melakukan pendakian ini, tapi tetap saja, pendakian pertamanya membuatnya berjalan tertatih-tatih.

Udara dingin, beban berat di punggung, serta panjangnya trek pendakian membuat dia ingin menangis. Kalau saja tidak ada Arkan, entah bagaimana nasibnya saat ini.

“Ini kapan nyampenya sih sebenarnya? Jujur Aku mau nangis banget”

“Kalau sudah mau nangis biasanya sudah mau sampai” Arkan menjawab sambil membukakan botol minum untuk Rura.

“Aku mau nangis udah dari satu jam yang lalu, tapi kita belum sampai juga”

“Berarti Kamu belum benar-benar mau nangis, tuh buktinya sampe sekarang belum nangis juga”

Bertanya kapan sampai memang cuman bikin Rura tambah ingin menangis. Untungnya Arkan sepanjang jalan jarang mengomel, malah jadi motivator dadakan. Anomali yang harus diingat selama umur persahabatan mereka.

Setelah drama kaki hampir terkilir, berhenti untuk makan berkali-kali, dan setelah tenaga Rura rasanya sudah habis, kabar baik itu datang. Lembah dengan lautan awan itu bukan hanya sekedar legenda. Mereka telah sampai.

Padang edelwiess terhampar di kanan kiri Rura. Sabana luas membentang dengan panorama cantik yang tidak pernah terbayangkan. Sinar matahari senja tipis-tipis menyapa kulit mukanya yang kedingingan. Sunyi serta bersihnya udara yang sudah lama tidak Rura rasakan. Kini semua jadi kenyataan! 

Dan yang paling penting, di sini nampak adabanyak awan!!!

Rura mengikatkan gelasnya dengan seutas tali panjang, kemudian melemparnya ke atas lautan awan yang terhampar di depan matanya. Gelasnya menjebak awan, ia menarik talinya, memeriksa es krim didalamnya, menghirup wangi es krim pertamanya dan menyendoknya pelan. Manis asin, awan campur air mata dan keringat Rura yang jatuh ke dalam gelasnya. Sedang dibelakangnya Arkan menulis catatan

“Orang kaya butuh naik satu anak tangga untuk makan eskrim. Orang miskin butuh naik tangga dan jatuh, naik tangga dan jatuh, dan naik gunung untuk makan eskrim yang sama”